Minggu, 31 Mei 2009

PENCURIAN BARANG BAGASI DI BANDARA

SEBUAH CATATAN UNTUK KEWASPADAAN BERSAMA

Tak pernah terbayang dalam benak saya akan mengalami kejadian ini.

Beberapa bulan yang lalu saya pernah membaca di koran Jawa Pos, ada seorang penumpang pesawat dari bandara Juanda dengan tujuan Singapura kehilangan uangnya senilai lebih kurang Rp. 200.000.000,- dalam bentuk mata uang SGD, USD dan juga Rupiah di dalam kopernya yang telah ia bagasikan. Uang itu rencananya akan ia pergunakan untuk operasi (saya lupa penyakitnya) di salah satu rumah sakit di Singapura.

Ia mengatakan bahwa kopernya sudah ia kunci rapat dengan menggunakan gembok yang berkode. Tetapi ternyata sang pencuri merobek ritsleting koper tersebut. Penumpang tersebut sudah melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib tetapi tidak membuahkan hasil.

Hari Minggu, 31 Mei 2009, saya berangkat dari Bandara Sepinggan, Balikpapan menuju Bandara Juanda, Surabaya dengan pesawat Lion Air pukul 15.00 WITA.
Saya masuk Bandara kira-kira pukul 13.30 WITA, aktifitas Bandara Sepinggan pada jam itu tidak terlalu ramai sehingga pada saat screening X-Ray tidak perlu mengantri terlalu lama dan dibelakang saya pun tidak ada yang mengantri. Saya membawa 2 barang bagasi, 1 berupa koper dan 1 berupa travelling bag berukuran besar.
Biasanya screening X-Ray ini tidak terlalu lama, tetapi saat itu saya perlu menunggu 5 menit lebih lama dari biasanya. Setelah di screening, petugas Bandara hanya memberi stiker “Security Check” di koper saja, padahal biasanya kan semua barang bagasi dia tempel stiker itu. Anehnya petugas tersebut sedikit merobek stiker “Security Check” di koper saya (waktu itu saya tidak berpikir apa2 karena hal ini sudah lazim dilakukan).
Pesawat Lion Air tersebut didelay selama kurang lebih 30 menit.

Oh iya, saya ini termasuk penumpang yang terlalu percaya dengan maskapai&pihak bandara dan juga kurang hati-hati. Tetapi saya memang tidak pernah menaruh barang berharga dalam bagasi saya. Saya ingat dulu pernah diperingatkan beberapa teman sekantor waktu bepergian bersama keluar negeri karena hanya koper saya saja yang tidak digembok tetapi teman-teman saya yang baik dengan senang hati memberikan salah satu gemboknya untuk saya. Mereka bilang meskipun ngga ada barang berharga dalam bagasi tetapi ada kemungkinan seperti ada orang yang sengaja memasukkan narkoba atau barang lain yang berbahaya ke koper kita. Makasih ya teman2 ku.

Sesampainya di Surabaya, waktu pengambilan barang yang pertama muncul adalah travelling bag saya. Sekitar 10 menit kemudian koper saya muncul. Pada saat saya angkat koper saya, tidak seperti biasanya. Belt koper lepas dari kaitannya dan ritsletingnya sedikit terbuka.

Setelah saya cek, ada 1 kotak yang hilang berupa kotak perhiasan. Untungnya kotak itu kosong. Alhamdulillah Tuhan masih melindungi saya tetapi hal ini juga sebagai peringatan kepada saya agar tidak menjadi penumpang yang teledor. Kayaknya pencurinya nyesel tuh, hehehehe....

Pada berita yang memuat cerita penumpang yang kehilangan uang diatas, dimuat juga tentang seorang ibu yang kehilangan perhiasan di kopernya yang dibagasikan, ia berangkat dari Bandara Juanda. Ibu tersebut adalah istri dari salah seorang petinggi di Angkatan Laut. Meskipun telah meminta bantuan “orang dalam” dan juga pihak Angkasapura tetapi tidak juga dapat ditemukan jejaknya karena menurut keterangan “orang dalam” tersebut hal ini sudah sering terjadi dan kemungkinan sudah sangat terorganisir sehingga sulit untuk melacak hal seperti ini.

Catatan saya ini hanya sebagai kewaspadaan bersama karena hal ini bisa terjadi pada siapa saja dan kita tidak pernah tau kapan dan dimana.

Rabu, 27 Mei 2009

Akta Cessie Vs Akta Fidusia

Cessie adalah pengalihan hak atas kebendaan tak bertubuh (intangible goods) kepada pihak ketiga. Kebendaan tak bertubuh di sini biasa berbentuk piutang atas nama.

Syarat Cessie
Cessie dapat dilakukan melalui akta otentik atau akta bawah tangan. Syarat utama keabsahan cessie adalah pemberitahuan cessie tersebut kepada pihak terhutang untuk disetujui dan diakuinya. Pihak terhutang di sini adalah pihak terhadap mana si berpiutang memiliki tagihan.

Pengaturan mengenai cessie diatur dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Praktek pelaksanaan Cessie
Dalam praktek transaksi bisnis di Indonesia saat ini, akta cessie biasa dibuat dalam bentuk "Assignment Deed". Hal pokok yang diatur dalam Assignment Deed adalah sebagai berikut:

Para pihak, yaitu pihak yang memiliki piutang (Transferor) dan pihak yang akan menerima pengalihan piutang (transferee) ;
Pernyataan pengalihan piutang oleh Transferor kepada Transferee dan pernyataan penerimaan pengalihan piutang tersebut oleh Transferee dari Transferor;
Syarat adanya pemberitahuan dari Transferor kepada pihak yang berhutang dan penegasan si berhutang ini bahwa ia menerima pengalihan hutangnya (atau piutang si Transferor) kepada Transferee.
Akta cessie biasanya dibuat dalam hubungan dengan perjanjian hutang piutang biasa dalam konteks perdagangan (pembelian dan penjualan barang dagangan secara cicilan), perjanjian pinjaman (kredit), dan anjak piutang (factoring).

Cessie dalam konteks jaminan hutang
Dalam konteks perjanjian hutang piutang, baik untuk tujuan perdagangan maupun pinjaman (kredit), biasanya pengalihan hak kebendaan (tak bertubuh) tersebut dilakukan untuk tujuan pemberian jaminan atas pelunasan hutang. Dalam konteks ini, isi akta cessie yang bersangkutan sedikit berbeda dengan isi akta cessie biasa. Akta cessie yang bersifat khusus ini dibuat dengan pengaturan adanya syarat batal. Artinya, akta cessie akan berakhir dengan lunasnya hutang/pinjaman si berhutang. Sementara akta cessie biasa dibuat untuk tujuan pengalihan secara jual putus (outright) tanpa adanya syarat batal.

Akta cessie yang bersifat khusus tersebut dilaksanakan dalam praktek sebagai respon dari tidak adanya bentuk hukum pemberian jaminan tertentu yang memungkinan si pemberi jaminan untuk tetap menggunakan barang jaminan yang diberikan sebagai jaminan. Sebagai contoh, apabila stok barang dagangan diberikan oleh si berhutang kepada krediturnya sebagai jaminan, maka tentu si berhutang tidak dapat menggunakan stok barang tersebut. Sementara stok barang tersebut sangat penting bagi si berhutang untuk kelangsungan usahanya, tanpanya tentu usahanya tidak dapat berjalan.

Untuk itu, diciptakanlah skema pengalihan hak si berhutang atas barang dagangan tersebut kepada kreditur. Sementara itu stok barang tersebut tetap berada pada si berhutang. Perlu dicatat bahwa yang dialihkan hanyalah "hak atas barang dagangan", sementara penguasaan (hak untuk menggunakan stok barang tersebut) tetap ada pada si berhutang. Untuk menjamin bahwa nilai stok barang yang dijaminkan senantiasa dalam jumlah yang sama, dalam akta cessie disebutkan bahwa yang dijaminkan adalah hak atas stok barang yang "dari waktu ke waktu" merupakan milik si berhutang.

Untuk tujuan pengawasan oleh kreditur, si berhutang wajib senantiasa menunjukkan daftar stok barang miliknya agar kreditur dapat memastikan bahwa jumlah minimal yang dijaminkan selalu sama guna meng-cover jumlah `hak atas stok barang' tersebut yang dijaminkan kepada kreditur.

Tidak ada hak keutamaan
Perlu diingat, akta cessie khusus ini bukanlah bentuk jaminan yang diatur secara hukum melalui peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, kreditur yang memegang jaminan yang diperoleh berdasarkan akta cessie khusus ini tidak memiliki hak untuk diutamakan (privilege) dari kreditur lain dalam hal si berhutang jatuh pailit. Dalam hal ini, haknya atas stok barang yang dicontohkan di atas akan terbagi bersama-sama kreditur lainnya dari si berhutang yang pailit tersebut. Dengan demikian, jaminan ini cukup beresiko tinggi dari sudut hukum.

Akta Cessie v.s. Akta Jaminan Fidusia
Sebagai catatan, akta cessie khusus untuk tujuan pemberian jaminan tersebut tidak lagi digunakan sejak diberlakukannya Undang-undang tentang jaminan fidusia. Dengan undang-undang ini, pemberian hak atas kebendaan (dalam hal ini benda bergerak, baik bertubuh maupun tak bertubuh) menjadi dimungkinkan. Dan resikonyapun lebih rendah dari sudut hukum karena kreditur pemegang jaminan fidusia memiliki hak keutamaan (privilege) atas barang yang dijaminkan tersebut terhadap kreditur lainnya.
Indonesia.

Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga

Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga*)

Resi gudang sebetulnya memiliki banyak ciri surat berharga yang notabene telah cukup diatur dalam KUHPerdata. Sehingga, UU Resi Gudang sebenarnya tidak diperlukan.

Sebelum membahas lebih jauh, penulis akan menguraikan terlebih dahulu substansi dari Undang-undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (selanjutnya UU Resi Gudang). Sistem resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian resi gudang (Pasal 1 angka. 1 UU Resi Gudang). Resi gudang sendiri adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang (Pasal 1 angka 2 UU Resi Gudang).

Tampaknya UU Resi Gudang hanya bermaksud untuk mengatur tentang benda bergerak yang disimpan dalam gudang saja. Hal ini dapat disimpulkan dengan membaca definisi barang menurut UU ini, yaitu setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum (Pasal 1 angka 5 UU Resi Gudang).

UU Resi Gudang bermaksud untuk membuat lembaga hukum jaminan baru selain yang sudah dikenal dalam hukum jaminan di Indonesia, antara lain hipotik, gadai, fidusia, dan hak tanggungan. Hal ini terlihat dari pencantuman istilah hak jaminan atas resi gudang di dalam UU ini. Hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi pemegangnya terhadap kreditur lain (Pasal 1 angka 9 UU Resi Gudang).

Berdasarkan penjelasan UU Resi Gudang, ditemukan juga informasi bahwa resi gudang adalah alas hak (document of title) atas barang dapat digunakan sebagai agunan karena resi gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan pengelola gudang yang terakreditasi. Sistem resi gudang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara.

Sistem ini terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. Hal ini dimungkinkan karena resi gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.

Dalam mengawasi, menilai serta mendaftarkan resi gudang, pemerintah membentuk Badan Pengawas Sistem Resi Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, serta Pusat Registrasi Resi Gudang (Pasal 1 angka 11, 12, dan 13 UU Resi Gudang).

Maksud pembentukan UU Resi Gudang adalah menciptakan sistem pembiayaan perdagangan yang diperlukan oleh dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah termasuk petani. Pada umumnya mereka menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses ke perbankan dan tidak adanya jaminan kredit benda tak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu juga adanya birokrasi dan administrasi yang berbelit-belit, kurangnya pengalaman bank dalam melayani wilayah perdesaan, tingginya biaya pinjaman dari sektor informal, tingginya tingkat risiko yang berhubungan dengan pengusaha atau produsen kecil, dan ketergantungan sektor formal terhadap pemerintah (Arief R. Permana dan Yulita Kuntari, Selayang Pandang Undang-undang Sistem Resi Gudang, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 4 No. 2, Agustus 2006, mengutip Buku Informasi Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Pendanaan, hal. 7-8).

Kelebihan adanya UU Resi Gudang adalah transaksi yang berkaitan dengan barang yang ada dalam gudang tidak perlu dilakukan pengalihan secara fisik, melainkan dengan pengalihan resi gudang.

Resi gudang sebagai surat berharga

Resi gudang adalah tanda terima yang diterbitkan oleh pemilik gudang yang diberikan sebagai tanda bukti kepemilikan barang yang dititipkan/diletakk an di dalam gudang kepada penitip/pemilik barang tersebut. Berdasarkan berbagai ciri-ciri yang melingkupi resi gudang, maka resi gudang dapat dikategorikan sebagai surat berharga. Pembagian resi gudang atas nama dan resi gudang atas perintah (Pasal 3 ayat (1) UU Resi Gudang) juga memperkuat pemikiran bahwa resi gudang adalah sejenis surat berharga. Definisi keduanya dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) UU Resi Gudang. Sebagai surat berharga, maka resi gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau dokumen penyerahan barang (Pasal 4 ayat (1) UU Resi Gudang).

Pasal 8 ayat (1) UU Resi Gudang mengatakan pengalihan resi gudang atas nama dilakukan dengan akta otentik. Sedangkan Pasal 8 ayat (2) menyatakan resi gudang atas perintah dilakukan dengan endosemen yang disertai penyerahan resi gudang. Resi gudang juga dapat diperdagangkan di bursa dan dijelaskan sifat hak jaminan resi gudang sebagai perjanjian berkarakter accesoir (Pasal 12 ayat 1 UU Resi Gudang).

Untuk melihat apakah yang dimaksud dengan surat yang berharga, maka penulis berpijak pada pendapat H.M.N. Purwosutjipto (Pengertian Hukum Dagang: Buku 7, Hukum Surat Berharga: Djambatan, hal 6-8). Surat yang berharga adalah: (i) surat bukti tuntutan utang, (ii) pembawa hak, dan (iii) sukar diperjual belikan.

Surat bukti tuntutan utang merupakan bukti adanya perikatan yang harus ditunaikan oleh si penerbit surat tersebut. Sebaliknya si pemegang surat tersebut mempunyai hak menuntut kepada penerbit surat tersebut. Tuntutan tersebut antara lain berwujud uang, dan benda.

Pembawa hak berarti pemegang surat yang berharga berhak untuk menuntut sesuatu kepada penerbit berdasarkan surat berharga. Sedangkan sukar diperjualbelikan, karena surat ini disengaja berwujud sukar diperjualbelikan. Bentuk tersebut adalah atas nama (op naam), sehingga untuk mengalihkannya dengan cara cessie.

Sebagai surat berharga, penulis melihat resi gudang dapat dikategorikan sebagai surat kebendaan (zakenrechtelijke papieren), yaitu surat yang berisikan perikatan untuk menyerahkan barang-barang, misalnya konosemen, dan sebagainya. Bentuk surat berharga yang tepat untuk resi gudang adalah ceel, yaitu surat berharga sebagai tanda bukti penerimaan barang-barang untuk disimpan dalam veem, ditandatangani oleh pengusaha veem.

Ceel memberi hak kepada pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barang sebagaimana disebut dalam ceel kepada pengusaha ceel. Sebutan lain untuk ceel adalah bukti penimbunan. Salah satu cara penyerahan ceel, adalah ditandatanganinya volgbriefje kepada pengusaha veem agar menyerahkan barang yang disebut dalam volgbriefje kepada pemegangnya.

Dapat memanfaatkan aturan KUHPerdata

Dengan melihat penjabaran di atas, maka sebenarnya resi gudang bukanlah mekanisme hukum asing yang tidak dikenal di Indonesia, bahkan sebaliknya. Oleh karena itulah penulis tidak dapat mengerti alasan pemerintah melegislasi undang-undang ini. Jelas sekali, resi gudang sebagai surat berharga memang dapat dijadikan sebagai jaminan utang bagi pemiliknya. Bahkan cara peralihannya pun sudah diatur sejak lama oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) . Sebagai surat berharga, maka cukup dengan menggunakan mekanisme yang disediakan oleh KUHPerdata pun sebenarnya resi gudang memang dapat dijadikan sebagai jaminan utang, serta dapat dialihkan.

Resi gudang adalah surat berharga yang mempunyai ciri-ciri sebagai sebuah surat kebendaan (zakenrechtelijke papieren). Resi gudang dapat disebut juga surat pengakuan utang dari pemilik gudang kepada pemilik barang yang menaruh barangnya di dalam gudang tersebut. Resi gudang dapat dimasukkan dalam kelompok tagihan atas order dan tagihan atas nama (sebagaimana dibagi oleh J. Satrio dalam Cessie, Subrogasi, Novatie, Kompensasi, dan Pencampuran Hutang: Alumni, hal. 1).

Sebagai surat yang berharga yang berciri surat kebendaan, tentu saja resi gudang dapat dialihkan dan tunduk pada Pasal 613 KUHPerdata. Ketentuan itu mengatur penyerahan piutang atas nama dan barang lain yang tak bertubuh dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan dan penyerahan tersebut diberitahukan kepada orang yang berutang. Bandingkan dengan penyerahan surat atas unjuk yang dilakukan dengan penyerahan surat utang atas perintah bersama dengan endosemen surat tersebut.

Syarat penting pasal ini ada pada kata diberitahukan, di mana bahasa aslinya (Belanda) adalah betekening, artinya pemberitahuan resmi melalui eksploit juru sita pengadilan. Namun menurut J. Satrio, syarat ini tidak diperlukan apabila cessus (orang yang membuat surat pengakuan hutang/debitur) sudah mengakui adanya cessie kepada cedder (kreditur lama) dan bersedia membayar utang tersebut kepada cessionaries (kreditur baru).

Sebagai surat yang berharga, maka resi gudang adalah benda bergerak, dan benda yang dapat dimasukkan ke dalam gudang pun adalah benda bergerak saja. Penulis tidak mengetahui apakah benda bergerak yang dapat dianggap sebagai benda tidak bergerak. Misalnya mesin dalam suatu pabrik, yang walaupun sifatnya adalah benda bergerak, tapi karena mesin tersebut menempel pada pabrik dan sukar dipindahkan, maka akan dianggap sebagai benda tidak bergerak. boleh atau tidak dimasukkan dalam gudang berdasarkan UU Resi Gudang.

KUHPerdata pun sudah mengatur mekanisme yang dapat diambil untuk menjaminkan benda bergerak, yaitu gadai. Untuk sanksi pidana-pun, menurut penulis, Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita masih cukup mumpuni untuk menanganinya, misalnya manakala ada oknum yang memalsukan resi gudang.

Dengan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata kita sebenarnya masih dapat mengakomodasi resi gudang, kalau saja pemerintah mau atau mampu menggunakan secara maksimal ketentuan di dalamnya. Menurut penulis pribadi, UU Resi Gudang menjadi sebuah peraturan perundang-undangan yang sia-sia, kalau tidak mau dikatakan tidak berguna.

Untuk membantu pengawasan dan pendaftaran resi gudang, UU Resi Gudang telah membentuk badan-badan tersendiri. Hal ini justru memperumit sesuatu yang sebenarnya dapat dipermudah, menambah prosedur yang tidak perlu. Padahal sudah menjadi rahasia umum, yang menghambat pertumbuhan ekonomi negara kita adalah adanya birokrasi yang berbelit-belit. Melalui UU ini, justru pemerintah kita telah menambah panjangnya daftar birokrasi negara ini. Mungkin hal ini memang ciri khas Indonesia sebagaimana dikatakan iklan layanan masyarakat baru-baru ini, "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah."

UU Resi Gudang merupakan sebuah produk perundang-undangan yang sangat mahal. Mulai dari perancangannya, yang dapat dipastikan anggota DPR yang terlibat akan memperoleh banyak tunjangan, pembentukan badan-badan pengawas hingga pelaksanaan sehari-hari yang tentu saja membutuhkan biaya besar. Yang terpenting, pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi harus mengikuti semua prosedur, padahal KUHPerdata menawarkan mekanisme yang lebih sederhana. Berdasarkan analisa ekonomi, hukum baru harus dapat menjadikan segala sesuatunya lebih efisien, dan UU Resi Gudang, tidak menawarkan hal tersebut.

Kemudian, yang lebih penting lagi, Indonesia adalah negara penganut civil law, yang mengagung-agungkan kepastian hukum secara dogmatis. Seharusnya dalam membuat peraturan perundang-undangan, legislatif harus mempertimbangkan keteraturan, dalam bentuk kesinkronan dengan peraturan perundang-undangan yang terdahulu, yang memiliki hierarki lebih tinggi maupun yang sejajar serta ketaatan pada grand theory sebuah hukum. Ketaatan inilah yang akan membantu pemerintah membuat legislasi, yang walaupun berbeda objek, namun memiliki nafas filosofi yang serupa. Sehingga menghindarkan adanya bentrokan antar perundang-undangan.

Kesimpulan akhir yang dapat penulis berikan adalah, UU Resi Gudang bukanlah produk peraturan perundang-undangan terbaik yang pernah dibuat oleh legislatif. Walau tak dapat dikatakan yang paling buruk, namun seharusnya para ahli hukum yang duduk di legislatif dapat merancang peraturan-perundang undangan yang lebih baik lagi.

*) Penulis adalah associate pada Law Firm Yohanes Suhardi & Partners

sumber dari www.hukumonline. com

Uang

Jika anda harus bekerja demi uang, carilah cara untuk bekerja dan menjadi bahagia.

Kecerdasan finansial bukanlah soal seberapa banyak uang yang kita hasilkan, tapi soal seberapa banyak uang yang kita simpan dan seberapa jauh uang itu bekerja untuk kita.

Uang tidak membuat kita bahagia. Jangan pernah berpikir bahwa kita akan bahagia bila kita menjadi kaya, peluangnya adalah bahwa kita tidak akan menjadi bahagia ketika kita sungguh sungguh menjadi kaya. Jadi apakah kita kaya atau miskin, pastikanlah bahwa kita bahagia.

Kita tidak bisa menjadi kaya di tempat kerja, kita menjadi kaya di rumah. Jika tidak perlu bekerja kita punya banyak waktu untuk menjadi kaya.

Perlakukanlah semua uang seperti kita memperlakukan pistol yang berisi peluru. Orang harus mengetahui perbedaan antara utang halal dan utang haram, atau uang yang diperoleh karena utang. Karena uang mempunyai kekuatan untuk membuat kita kaya ataupun miskin. Seperti halnya pistol yang berisi peluru bisa melindungi atau membunuh kita, demikian juga utang.

Pemuasan kebutuhan yang ditunda adalah kecerdasan emosional yang perlu dikembangkan.

Resiko terbesar adalah tidak mengambil resiko dan tidak belajar dari kesalahan kita ketika masih muda. Semakin tua kita, semakin besar kesalahan yang kita lakukan.

Investor sejati akan berusaha sekuat tenaga mendapatkan laba tanpa menjual atau menukar properti mereka. Tujuan utama seorang investor adalah membeli dan menyimpan, membeli dan menyimpan, membeli dan menyimpan. Tujuan utama seorang investor sejati adalah meningkatkan aset mereka untuk menjualnya. Mereka mungkin akan menjualnya tapi ini bukanlah tujuan utama. Seorang invesor membeli dan menyimpan dan seorang pedagang membeli dan menjual.

Aset adalah uang yang mengalir ke dalam kolom pemasukan
Liabilitas adalah uang yang mengalir ke kolom pengeluaran.

Banyak orang yang mengira liabilitas yang mereka miliki aset, padahal mereka memberi makan liabilitas yang mereka kira aset.

Semakin banyak orang yang kita layani, akan mebuat kita menjadi semakin kaya.

Berapa banyak uang yang kita simpan jauh lebih penting daripada berapa banyak uang yang kita hasilkan.

Menabung dan meminjam lebih merugikan daripada menabung dan berinvestasi. Orang akan lebih banyak membayar dalam bentuk bunga daripada uang yang diterima.

Orang yang membuat asetnya bekerja untuknya berarti dia tidak bekerja untuk uang melainkan uang yang bekerja untuknya.

Apabila pemasukan terbesar adalah dari slip gaji, itu berarti seseorang bekerja untuk uang.

Peraturan Lelang

Peraturan Lelang (Vendureglement) dan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Risalah Lelang

Di Indonesia, sejarah kelembagaan lelang sudah cukup lama dikenal. Peraturan Lelang (Vendureglement) yang sampai saat ini masih berlaku merupakan bentukan pemerintah Hindia Belanda. Peraturan dimaksud tepatnya mulai diundangkan pada tanggal 1 April 1908.

Untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat atau perkembangan ekonomi, Pemerintah terus berupaya melakukan terobosan atau deregulasi dalam bidang lelang. Deregulasi dimaksud, antara lain (i) dimungkinkannya Balai Lelang Swasta terlibat dalam kegiatan lelang; (ii) diperkenalkannya Pejabat Lelang Kelas II; serta (iii) terbukanya kesempatan bagi para kreditur untuk melakukan lelang langsung (direct auction) tanpa harus melibatkan pengadilan negeri.

Pejabat Lelang Kelas II dimaksud berasal dari kalangan swasta. Pejabat lelang ini berwenang menerbitkan risalah lelang, namun hanya dalam lelang yang bersifat sukarela (voluntary auction). Kemudian, lelang eksekusi langsung adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dan UU No. 42 Tahun 1992 tentang Jaminan Fidusia. Dalam lelang jenis ini, Balai Lelang bertindak sebagai partner pelaksana dari kreditur.

Jelas, ketiga contoh terobosan dan deregulasi di atas memberikan ruang yang semakin terbuka dan opsi yang semakin beragam bagi masyarakat. Untuk itulah Balai Lelang swasta hadir di tengah masyarakat, khususnya kalangan usaha. Yang banyak dimanafaatkan jasanya menjadi mitra baik dalam melakukan lelang sukarela maupun eksekusi.

Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta Lelang

Pemberian kewenangan kepada Notaris dalam pembuatan akta risalah lelang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya di bidang lelang. Hal ini dikarenakan pemberian kewenangan tersebut tumpang tindih dengan kewenangan Pejabat Lelang sebagai pelaksana lelang berdasarkan Peraturan Lelang (Vendu Reglement) dan Instruksi Lelang (Vendu Instructie). Namun demikian kewenangan Notaris membuat akta risalah lelang ini tidak dapat secara otomatis diterapkan begitu saja. Hanya Notaris yang telah ditetapkan dan diangkat sebagai Pejabat lelang Kelas II saja yang berhak dan berwenang memimpin pelaksanaan lelang dan membuat akta risalah lelang.

Notaris dapat merangkap jabatan sebagai Pejabat Lelang Kelas II. Pengaturan hukum bagi Notaris yang ditetapkan dan diangkat menjadi Pejabat Lelang Kelas II diatur dalam Peraturan Lelang (Vendu Reglement) dan Pasal 7 Instruksi Lelang (Vendu Instructie) junto Pasal 4 ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang juncto Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II. Rangkap jabatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II ini bukanlah suatu rangkap jabatan yang dilarang oleh undang-undang yang berlaku, baik peraturan perundang-undangan di bidang lelang maupun di bidang kenotariatan. Pasal 3 huruf g juncto Pasal 17 Undang-Undang Jabatan Notaris tidak melarang rangkap jabatan Notaris sebagai Pejabat Lelang Kelas II.

KEUNGGULAN LELANG

Penjualan aset secara lelang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan transaksi konvensional, yaitu:

Kepastian Proses lelang didahului pengecekan dokumen yang sistematis, berlapis serta diumumkan secara terbuka (dalam media massa seperti surat kabar). Selanjutnya pemenang lelang akan mendapatkan risalah lelang. Risalah lelang merupakan akta pengalihan hak (acta van transport) yang memiliki kekuatan hukum sempurna atau otentik.

Efektif dan Efisien Khusus untuk asset yang dijual secara kolektif (massal), lelang merupakan media terbaik. Pelaksanaannya dilakukan sekali waktu serta menghadirkan pembeli secara bersamaan (single event). Dengan model lelang ini, potensi harga terbaik akan lebih mudah dicapai. Sebab, secara teknis dan psikologis, suasana kompetitif dengan sendirinya akan terbentuk.

Transparan Lelang menganut asas publikasi dan terbuka untuk umum. Dengan demikian, lelang merupakan model penjualan asset yang paling transparan. Transparansi ini terutama sangat diperlukan dalam penjualan jaminan kredit/lelang eksekusi, asset milik lembaga atau perusahaan Negara, asset perusahaan-perusaha an publik atau asset lembaga manapun yang memerlukan suatu proses yang transparan.

Biasanya Jasa Yang Ditawarkan Balai Lelang memberikan layanan jasa lelang dalam tiga bentuk, yaitu:

1. Lelang Sukarela

Lelang sukarela adalah lelang terhadap asset (bergerak dan tidak bergerak) yang secara sukarela dijual oleh pemilik atas kuasanya yang sah. Dengan demikian, dalam lelang sukarela tidak ada unsur paksaan, misalnya karena penetapan pengadilan atau permohonan kreditur. Lelang sukarela ini dapat mencakup asset "milik" perusahaan, badan hukum tertentu dan perorangan (misalnya jaminan yang sudah diambil alih bank, inventaris kantor, tanah dan bangunan, perkebunan, mesin-mesin, saham dan sebagainya).

Dalam melakukan lelang sukarela, Balai Lelang bertindak selaku penjual yang telah mendapat kuasa dari pemilik). Khusus untuk daerah tertentu, lelang sukarela diselenggarakan oleh Balai Lelang bekerja sama dengan Pejabat Lelang Kelas II. Pejabat Lelang Kelas II dikenal juga dengan pejabat lelang swasta. Apabila di daerah tersebut belum ada Pejabat Lelang Kelas II, maka Balai Lelang bekerja sama dengan Pejabat Lelang Kelas I yang berada di bawah Kantor Lelang Negara setempat. Risalah lelang diterbitkan oleh Pejabat Lelang Kelas II atau Pejabat Lelang Kelas I (untuk daerah yang belum memiliki Pejabat Lelang Kelas II).

2.Lelang Eksekusi

Lelang eksekusi adalah lelang terhadap asset yang telah terikat sebagai jaminan suatu utang atau asset yang menjadi objek sitaan suatu institusi hukum. Lelang objek sitaan ini meliputi lelang melalui penetapan pengadilan (hak tanggungan, hak fidusia atau gugatan), lelang atas permohonan kejaksaan (terkait dengan perkara pidana), lelang sita bea cukai, lelang sita kantor pajak, lelang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan lelang harta pailit.

Dalam lelang eksekusi, Balai Lelang bertindak selaku agen pemohon lelang (kreditur atau instansi berwenang). Lingkup pekerjaan agency dimaksud mencakup penyiapan dan pemeriksaan dokumen, penyiapan dan pemeriksaan objek, pemeliharaan objek, pemasaran, penyelenggaraan lelang hingga membantu pembeli dan penjual menyelesaikan kegiatan administratif pasca lelang.

3. Lelang Non Eksekusi Wajib

Lelang non eksekusi wajib adalah lelang asset milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara atau barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yang oleh peraturan perundang-undangan wajib dijual secara lelang. Misalnya lelang kayu dan hasil hutan.

Penguasaan Tanah oleh WNA

CATATAN HUKUM MARIA SW SUMARDJONO

PERATURAN Pemerintah (PP) No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia masih
memerlukan kejelasan dalam rangka penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, dalam PP tersebut terdapat kerancuan pemahaman dan
inkonsistensi yang perlu diluruskan.

Pasal 2 angka 1 huruf b menyebutkan bahwa : WNA dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (pasal 3 dan 4).

Penjelasan pasal 2 angka 1 huruf b yang mendasarkan pada pasal 6 UU
No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menyatakan bahwa
penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan karena
sifatnya berpangkal pada persetujuan dengan pemegang hak atas tanah,
maka perjanjiannya dapat dibuat di atas tanah Hak Milik (HM) dan Hak
Guna Bangunan (HGB).

Hak Sewa atas Bangunan

PP No. 41 tahun 1996 berbicara tentang pemilikan rumah tinggal/hunian
(bangunan) oleh WNA dengan cara penguasaan (hak atas) tanahnya, baik
atas Tanah Negara atau melalui perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah, dan apabila melalui perjanjian harus dalam bentuk akta PPAT
(karena obyek perjanjian adalah pemberian hak baru atas tanah) dan
wajib didaftarkan.

Sebelum PP No. 41/1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP No. 41/1996 (lihat PP No. 44/1994).
Karena obyek perjanjiannya adalah bangunan, maka hak sewa atas
bangunan dapat dibuat terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah HM,
HGB, HP, dan HSUB.

WNA yang berkedudukan di Indonesia dapat menguasai tanah dengan HP
atau HSUB dan memiliki bangunan yang didirikan di atasnya. Menurut
pasal 44 UUPA, seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dalam pengertian HSUB, pemilik tanah menyerahkan tanah
yang disewa oleh seorang/suatu badan hukum itu dalam keadaan kosong
untuk kemudian si penyewa mendirikan bangunan yang secara yuridis juga
dimiliknya.

HP yang dapat dikuasai oleh WNA dapat terjadi di atas tanah Negara,
tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah HM, tetapi HSUB yang mirip HP
dengan kekhususan tertentu hanya dapat terjadi di atas tanah HM.
Sesuai dengan konsepsi hukum tanah nasional, hanya HM yang dapat
menjadi induk hak atas tanah yang lain, karena dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, HM bersifat turun temurun yang juga merupakan
hak terkuat dan terpenuh, sehingga mempunyai kualifikasi dapat menjadi
dasar/induk untuk pemberian hak atas tanah lain, yakni HGB, HP, dan
HSUB.

Terjadinya HP atas tanah HM sudah diatur dalam PP No. 40/1996 tentang
HGU, HGB, dan HP atas Tanah, sedangkan mengenai terjadinya HSUB atas
tanah HM belum diatur. Apabila di masa yang akan datang hal ini akan
diatur, maka analog dengan HP atas tanah HM, maka perjanjian pemberian
HSUB atas tanah HM harus dibuat akta PPAT dan wajib didaftar.

Konsisten dan sinkron

Pasal 2 angka 1 huruf b mengatur tentang pemilikan rumah tinggal
melalui penguasaan tanah (pemberian hak baru atas tanah) berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya yang dapat dilakukan di
atas tanah HM.

Penguasaan HPTN oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan tidak
melepaskan/mengalih kan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain
yang memenuhi syarat. Seyogianya ditegaskan bahwa rumah dan tanahnya
tersebut dikuasai oleh Negara, dan Negara tidak perlu melelang rumah
dan tanah tersebut dan menyerahkan hasil penjualannya kepada WNA
setelah dikurangi biaya lelang dan ongkos lain seperti yang disebutkan
dalam pasal 6 ayat 2 huruf a. Hal ini tidak sinkron dengan pasal 57 PP
No. 40/1996 yang menyebutkan, bahwa dalam situasi yang sama bekas
pemegang HPTN wajib menyerahkan tanah dalam keadaan kosong kepada
Negara dengan cara membongkar sendiri bangunan dan benda yang ada di
atasnya atau dibongkar oleh negara atas biaya bekas pemegang hak.
Kecuali, apabila bangunan dan benda tersebut masih diperlukan, Negara
akan memberikan ganti kerugian.

Ketentuan apa pun yang dibuat, seyogianya memperhatikan konsepsi yang
mendasari dan sinkron dengan peraturan lain yang terkait, baik secara
horisontal maupun vertikal.

(Maria SW Sumardjono, Kepala Pusat Pengkajian Hukum Tanah FH UGM)

Cara Membagi Waris Menurut KUH Perdata

Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang (KUH Perdata).



Banyak permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.



Keluarga Bambang (bukan nama sebenarnya) di Solo, misalnya. Mereka mempunyai permasalahan seputar warisan sejak 7 tahun yang lalu. Awalnya keluarga ini tidak mau membawa masalah ini ke meja hijau tapi sayangnya, ada beberapa ahli waris yang beritikad buruk. Karena itu keluarga Bambang akhirnya memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini melalui jalur hukum. Hingga awal tahun 2006, kasusnya masih dalam tingkat banding di Pengadilan Tinggi setempat dan belum ada putusan.



Ilustrasi ini hanya satu dari banyak masalah harta waris yang masuk ke pengadilan. Mengingat banyaknya kasus semacam ini, ada baiknya kita mengetahui bagaimana sebenarnya permasalahan ini diselesaikan dengan Hukum Waris menurut Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).



Berhak Mendapatkan Warisan

Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, yaitu melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.



Mereka yang berhak menerima dibagi menjadi empat golongan, yaitu anak, istri atau suami, adik atau kakak, dan kakek atau nenek. Pada dasarnya, keempatnya adalah saudara terdekat dari pewaris (Lihat Boks 4 golongan pembagian waris).



Sedangkan pewarisan secara testamentair/ wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.



Tidak Berhak Menerimanya

Meskipun seseorang sebenarnya berhak mendapatkan warisan baik secara absentantio atau testamentair tetapi di dalam KUH Perdata telah ditentukan beberapa hal yang menyebabkan seorang ahli waris dianggap tidak patut menerima warisan.



Kategori pertama adalah orang yang dengan putusan hakim telah telah dinyatakan bersalah dan dihukum karena membunuh atau telah mencoba membunuh pewaris. Kedua adalah orang yang menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan surat wasiat atau dengan memakai kekerasan telah menghalang-halangi pewaris untuk membuat surat wasiat menurut kehendaknya sendiri. Ketiga adalah orang yang karena putusan hakim telah terbukti memfitnah orang yang meninggal dunia dan berbuat kejahatan sehingga diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih. Dan keempat, orang yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat dari pewaris.



Dengan dianggap tidak patut oleh Undang-Undang bila warisan sudah diterimanya maka ahli waris terkait wajib mengembalikan seluruh hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya sejak ia menerima warisan.



Pengurusan Harta Warisan

Masalah warisan biasanya mulai timbul pada saat pembagian dan pengurusan harta warisan. Sebagai contoh, ada ahli waris yang tidak berbesar hati untuk menerima bagian yang seharusnya diterima atau dengan kata lain ingin mendapatkan bagian yang lebih. Guna menghindari hal tersebut, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan oleh Anda yang kebetulan akan mengurus harta warisan, khususnya untuk harta warisan berupa benda tidak bergerak (tanah dan bangunan).



Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat Surat Keterangan Kematian di Kelurahan/Kecamatan setempat. Setelah itu membuat Surat Keterangan Waris di Pengadilan Negeri setempat atau Fatwa Waris di Pengadilan Agama setempat, atau berdasarkan Peraturan Daerah masing-masing. Dalam surat/fatwa tersebut akan dinyatakan secara sah dan resmi siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris.



Apabila di antara para ahli waris disepakati bersama adanya pembagian warisan, maka kesepakatan tersebut wajib dibuat dihadapan Notaris. Jika salah satu pembagian yang disepakati adalah pembagian tanah maka Anda harus melakukan pendaftaran di Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan Surat Kematian, Surat Keterangan Waris atau Fatwa Waris, dan surat Wasiat atau Akta Pembagian Waris bila ada.



Satu bidang tanah bisa diwariskan kepada lebih dari satu pewaris. Bila demikian maka pendaftaran dapat dilakukan atas nama seluruh ahli waris (lebih dari satu nama). Nah, dengan pembagian waris yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang maka diharapkan bisa meminimalkan adanya gugatan dari salah satu ahli waris yang merasa tidak adil dalam pembagiannya.



Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan



A. GOLONGAN I.

Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian.



1. Ayah

2. Ibu

3. Pewaris

4. Saudara

5. Saudara



B. GOLONGAN II

Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris.



Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian



C. GOLONGAN III

1. kakek
2. nenek
3. kakek
4. nenek



Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah.



Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.



D. GOLONGAN IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.



TIPS

Sebelum melakukan pembagian warisan, ahli waris harus bertanggungjawab terlebih dahulu kepada hutang-piutang yang ditinggalkan oleh pewaris semasa hidupnya.

Perubahan Status kewarganegaraan dari Warga Negara Asing menjadi Warga Negara Indonesia

Perubahan Status kewarganegaraan dari Warga Negara Asing menjadi Warga Negara Indonesia

Pada umumnya, perubahan status kewarganegaraan dari seorang Warga Negara Asing atau WNA menjadi seorang Warga Negara Indonesia dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :

A.

dengan usaha sendiri (WNA tersebut menyatakan keinginannya untuk merubah status kewarganegaraan asingnya menjadi Warga Negara Indonesia yang diakui)

B.

dengan bantuan status kewarganegaraan dari seorang Warga Negara Indonesia lainnya ... dengan kata lain : melakukan pernikahan resmi dengan seorang Warga Negara Indonesia yang berkode 1920 / 1933 / 1917 ataupun 1849 secara Catatan Sipil atau KUA

Perubahan status dari Warga Nagara Asing (WNA) menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) terbagi menjadi 2 nilai nominal, yaitu :

1.

Kelompok WNA pasif, seperti ibu rumah tangga, pelajar dan anak-anak (harga mulai Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 40.000.000,- )

2.

Kelompok WNA aktif, seperti pekerja, ekspatriat dan lain-lain (harga mulai Rp. 17.500.000,- s/d Rp. 40.000.000,- )

Waktu pengerjaan berkisar antara 3 (tiga) bulan sampai dengan max. 4 (empat) bulan.

Syarat-syarat yang diperlukan antara lain :

1........

(Copy) ... Passport dari WNA yang bersangkutan dan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang atau kedutaan yang bersangkutan

2........

(Copy) ... Akte Kelahiran dari WNA yang bersangkutan dan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang atau kedutaan yang bersangkutan

3........

(Asli) ... Surat keterangan dari perwakilan negara / kedutaan besar pemohon yang menerangkan bahwa setelah pemohon memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia ia akan kehilangan kewarganegaraan asingnya yang bersangkutan

4........

(Copy) ... Kartu Tanda Penduduk atau surat keterangan tempat tinggal pemohon WNI

5........

(Copy) ... Akte perkawinan / buku KUA

6........

(Asli) ... Surat keterangan catatan kepolisian

7........

(Copy) ... Akte Kelahiran dan KTP dari WNI yang menjadi sponsor

8........

(Asli) ... Status Kewarganegaraan dari WNI yang menjadi sponsor WNA tersebut (bila WNI tersebut berkode 1917 atau 1849, seperti : WNI atau SKKRI atau SBKRI miliknya sendiri atau milik Orang Tua Kandung si WNI tersebut)

9........

Surat Pernyataan Kesetiaan secara tertulis

10......

(Copy) ... Surat Ganti Nama dari pihak WNA dan/ WNI tersebut ... jika ada (baik miliknya sendiri atau milik Orang Tua Kandungnya)

11......

(Asli) ... Surat keterangan dari kantor imigrasi di tempat tinggal pemohon WNI yang menerangkan bahwa pemohon WNI tersebut telah bertempat tinggal di Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut

12......

(Asli) ... Pas Foto posisi portrait yang berwarna & berdampingan, ukuran 4x6 Cm sebanyak 7 (tujuh) lembar dengan background merah


Contoh Surat Pernyataan untuk memperoleh WNI


PERNYATAAN KESETIAAN TERHADAP NEGARA KESATUAN
REPUBLIK
INDONESIA





Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

1. Nama Lengkap : ... nama Pemohon / WNA ybs.
2. Tempat dan Tanggal Lahir :
3. Jenis Kelamin :
4. Pekerjaan :
3. Alamat Tempat Tinggal :

dengan ini menyatakan bahwa saya akan melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sehat baik jasmani maupun rohani dan tanpa tekanan dari pihak manapun.


............ ......... ......... ......... ..20....
Yang menyatakan,





(Nama Lengkap)

Sumbangan atau Zakat Semua Agama Bukan Objek PPh

Good news bagi masyarakat Indonesia yang berlatar belakang beragam agama karena pemerintah telah mengeluarkan aturan bahwa sumbangan atau zakat yang diwajibkan bagi setiap pemeluk agama di Indonesia dikecualikan dari objek PPh sehingga bagi pemberi sumbangan/zakat dapat mengurangkannya dari penghasilan bruto sebelum dikenakan Pajak Penghasilan dan bagi penerima sumbangan/zakat bukan merupakan penghasilan. Hal tersebut diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 tentang Bantuan atau Sumbangan Termasuk Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dikecualikan dari Objek PPh. PP tersebut merupakan aturan pelaksanaan dari Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

Bantuan atau Sumbangan Keagamaan Bukan Objek PPh

Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat dan sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan.

Zakat

a. Zakat sebagaimana dimaksud di atas dalah zakat yang diterima oleh:
badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan

b. penerima zakat yang berhak.

Sumbangan Keagamaan

Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia sebagaimana dimaksud di atas adalah sumbangan keagamaan yang diterima oleh:
a. lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; dan
b. penerima sumbangan yang berhak.

Bentuk Bantuan atau sumbangan

Bantuan atau sumbangan sebagaimana dimaksud di atas adalah pemberian dalam bentuk uang atau barang kepada orang pribadi atau badan.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2009 maka sumbangan, bantuan, atau zakat yang diwajibkan oleh agamanya masing-masing yang diberikan oleh semua penduduk Indonesia dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sehingga untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi adalah dengan pengurangkan penghasilan dengan sumbangan, bantuan, atau zakat yang telah diberikan dan Penghasilan Tidak Kena Pajak kemudian dikalikan dengan tarif yang berlaku.

Contoh:

Peredaran bruto

6.000.000.000

Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan

5.400.000.000

Laba usaha (penghasilan neto usaha)

600.000.000

Penghasilan lainnya

50.000.000

Jumlah seluruh penghasilan neto

650.000.000

Sumbangan/ Zakat

65.000.000

Jumlah seluruh penghasilan neto setelah dikurangi Sumbangan/ Zakat

585.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk Wajib Pajak orang pribadi (isteri + 2 anak)

19.800.000

Penghasilan Kena Pajak

565.200.000

PPh

5% x Rp 50.000.000

2.500.000

15% x Rp 200.000.000

30.000.000

25% x Rp 250.000.000

62.500.000

30% x Rp 65.200.000

19.560.000

Jumlah PPh Terutang

114.560.000

Hoax-Hoax yang umum beredar

Tentunya kamu pernah dapet forward-an message di email, messenger, inbox friendster/multiply/myspace/facebook dan lain sebagainya yang isinya berita-berita menggemparkan yang membuat kamu mungkin mem-forward lagi ke orang lain. Well, gak semuanya ternyata bener! Malahan kebanyakan tu cuma hoax alias berita boong yang ngabisin waktu kamu doang (yahh... minimal sepuluh menit deh buat ngebuka message, ngebaca dan mem-forward message tipu itu lagi... atau malah setengah jam kalo koneksi internet lo lelet, atau seharian kalo tiba-tiba mati lampu gara-gara kena pemadaman listrik bergilir...)

Hoax yang umum beredar:

- Friendster is closing soon, jadi forward berita ini sebagai tanda bahwa account anda aktif.
OH PLEASE! Itu boongan kale! Pake logika aja, mana ada online industry yang nutup account kliennya dengan semena-mena. Lagipula dengan satu query di database aja udah keliatan kapan account terakhir itu login, gak usah pake forward-forward segala.


- Jangan pake lensa kontak saat berhadapan dengan hawa panas dan api, soalnya ada kasus dimana ada orang yang lagi BBQ dan lensa kontaknya meleleh di mata, trus jadi buta.
LEBAY DEH AH! Emang sih make lensa kontak harus ekstra hati-hati, tapi cerita lensa kontak yang meleleh itu cuma hoax yang dibikin asal doang! Hoax ini udah beredar di internet sejak taun 90an, jadi basi aja kalo lo masih percaya. Silakan cek link
http://www.hoax-slayer.com/melted-co...lens-bbq.shtml untuk misuh-misuh sendiri.


- Virus paling berbahaya, jangan terima email/message dengan judul tertentu
USAHA DONG! Berhubung ini tipe hoax yang termasuk paling banyak beredar, dengan nama dan jenis virus yang berganti-ganti pula, mendingan lo agak niat sedikit lah buat nyari keterangan langsung tentang virus itu. Misalnya di
http://us.mcafee.com/ atau situs-situs penyedia jasa antivirus lainnya.


- Kandungan kimia Coca-Cola sangat berbahaya. Bisa dipake buat bersihin toilet, karburator, ngelonggarin baut yang berkarat, dst dst.
YA SUDAH LAH YA. Jelas-jelas tipu, cek aja di
http://hoax.wordpress.com/2007/03/13...ola-dan-pepsi/ kalo lo masih bolkicep dan heboh nganggep kalo itu bener. Lagian, iseng banget bersihin toilet pake Coca-Cola, harga karbol juga gak mahal-mahal amat gitu...


- Dilarang make bekas botol plastik air mineral (Aqua, Vit, 2 Tang, etc) lebih dari 1-2 kali, maksimal seminggu, karena bahan plastik botol mengandung zat berbahaya.
OH REALLY? Nampaknya ini cuma hoax yang dilebih-lebihin. Cek aja
http://www.consumerfraudreporting.or...aterbottle.php atau http://www.plasticsinfo.org/s_plasti...D=705&DID=2839 biar lo yakin. Lagian, mau botol plastik kek, botol kaca, atau botol kertas kalo gak dijaga kebersihannya ya kuman tetep aja bakal nempel, gak peduli mau dipake sekali, dua kali atau tujuh ribu kali.


- Makan mie instant harus diselang 3 hari, karena mie instant mengandung lilin yang bisa menyebabkan usus lengket.
TERTIPU! Dan lo sempet percaya kan tuuhh? Hehehe. Silakan intip
http://www.snopes.com/food/warnings/noodles.asp. Tapi ya bok, mau mengandung lilin atau gak, jangan kayak orang susah juga kaliii makan mie mulu tiap hari.


- Hati-hati kalau ke bioskop/mal, ada orang yang suka naro jarum yang sudah terinfeksi HIV. Ketika lo tertusuk, lo akan menemukan secarik kertas bertuliskan ‘you have been infected by HIV’.
BOONGAN. Message ini cuma didesain supaya bikin parno elo doang. Sok atuh periksa
http://www.truthorfiction.com/rumors...s-theaters.htm kalo gak percaya. Semoga setelah lo baca tulisan di link itu idup lo jadi lebih tenang.


Ah ya sudahlah makanyaaa kalo ada apa-apa dicek dulu, jangan asal percaya dan bikin jaringan tipuan ini berkepanjangan!

PERPU 56 tahun 1960 Tentang PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

PERPU 56 tahun 1960
Tentang PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN


Tanggal:29 DESEMBER 1960 (JAKARTA)

[ Dengan UU No 1 Tahun 1961 (LN 1961 No.3) disahkan menjadi Undang-undang ]

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang :

a.bahwa perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian sebagai yang dimaksud dalam pasal 17 Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104);
b.bahwa oleh karena keadaan memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat :

a.pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
b.pasal 2, 7, 17 dan 53 Undang-undang No. 5 tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 104);

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 28 Desember 1960.

Memutuskan :

Menetapkan :

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penetapan luas tanah pertanian.

Pasal 1

(1) Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam ayat 2 pasal ini.

(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini ditetapkan sebagai berikut:

Di daerah-daerah yang:
Sawah
(hektar)
atau
Tanah Kering
(hektar)

1. Tidak padat
2. Padat:
a. kurang pada
b. cukup padat
c. sangat padat
15

10
7,5
5
20

12
9
6

Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah-kering, maka untuk menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanah-kering dengahn menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat an 20% di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah-pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hekar.

(3) Atas dasar ketentuan dalam ayat 2 pasal ini maka penetapan luas maksimum untuk tiap-tiap daerah dilakukan menurut perhitungan sebagai yang tercantum dalam daftar yang dilampirkan pada Peraturan ini.

(4) Luas maksimum tersebut pada ayat 2 pasal ini tidak berlaku terhadap tanah pertanian:
yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang didapat dari Pemerintah;
yang dikuasai oleh badan-badan hukum.

Pasal 2

(1) Jika jumlah anggota suatu keluarga melebihi 7 orang, maka bgi keluarga itu luas maksimum sebagai yang ditetapkan dalam pasal 1 untuk setiap anggota yang selebihnya ditambah dengan 10%, dengan ketentuan bahwa jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%, sedang jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah kering.

(2) Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan paling banyak 5 hektar.

Pasal 3.

Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan didalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya Peraturan ini. Kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria.

Pasal 4.

Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk memindahkan hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan izin kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya dapat diberikan jika tanah yang haknya dipindahkan itu tidak melebihi luas maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan pasal 9 ayat (1) dan (2).

Pasal 5.

Penyelesaian mengenai tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyelesaian tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan keinginan fihak yang bersangkutan.

Pasal 6.

Barangsiapa sesudah mulai berlakunya Peraturan ini memperoleh tanah pertanian, hingga tanah pertanian yang dikuasai olehnya dan anggota-anggota keluarganya berjumlah lebih dari luas maksimum, wajib berusaha supaya paling lambat 1 tahun sejak diperolehnya tanah tersebut jumlah tanah pertanian yang dikuasai itu luasnya tidak melebihi batas maksimum.

Pasal 7.

(1)Barangsiapa menguasai tanah pertanian dengan hak-gadai yang pada mulai berlakunya Peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaran uang tebusan.

(2)Mengenai hak-gadai yang pada mulai berlakunya. Peraturan ini belum berlangsung 7 tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk memintanya kembali setiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang besarnya dihitung menurut rumus:

(7 + 1/2) - waktu berlangsungnya hak-gadai X uang gadai,
7

dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak-gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen.

(3)Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga terhadap hak-gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya Peraturan ini.

Pasal 8

Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.

Pasal 9.

(1)Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar. Larangan termaksud tidak berlaku, kalau sipenjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari 2 hektar dan tanah itu dijual sekaligus.

(2)Jika dua orang atau lebih pada waktu mulai berlakunya Peraturan ini memiliki tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar didalam waktu 1 tahun mereka itu wajib menunjuk salah seorang dari antaranya yang selanjutnya akan memiliki tanah itu, atau memindahkannya kepada fihak lain, dengan mengingat ketentuan ayat (1).

(3)Jika mereka yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak melaksanakan kewajiban tersebut diatas, maka dengan memperhatikan keinginan mereka Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menunjuk salah seorang dari antara mereka itu, yang selanjutnya akan memiliki tanah yang bersangkutan, ataupun menjualnya kepada fihak lain.

(4)Mengenai bagian warisan tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 10.

(1)Dipidana dengan hukuman kurungan selama-lama 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-;

a.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 4;
b.barangsiapa tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal 3, 6 dan 7 (1): c.barangsiapa melanggar larangan yang tercantum dalam pasal 9 ayat (1) atau tidak melaksanakan kewajiban tersebut pada pasal itu ayat (2).

(2)Tindak pidana tersebut pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.

(3)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini maka pemindahan hak itu batal karena hukum, sedang tanah yang bersangkutan jatuh pada Negara, tanpa hak untuk menuntut ganti-kerugian berupa apapun.

(4)Jika terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b pasal ini, maka kecuali didalam hal termaksud dalam pasal 7 ayat (1) tanah yang selebihnya dari luas maksimum jatuh pada Negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum dan/atau anggota-anggota keluarganya, dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk mengemukakan keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan dikenakan ketentuan ayat ini. Mengenai tanah yang jatuh pada Negara itu tidak berhak atas ganti-kerugian berupa apapun.

Pasal 11.

(1)Peraturan Pemerintah yang disebut dalam pasal 5 dan dalam pasal 12 dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.000,-

(2)Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 12.

Maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya serta pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 13.

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1960.
Presiden Republik Indonesia,
Ttd
SOEKARNO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Desember 1960.
Pejabat Sekretaris Negara,
Ttd
SANTOSO.

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
No' 56 TAHUN 1960
tentang
PENETAPAN LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN.

UMUM.

(1)Dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun 1960) menetapkan dalam pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Keadaan masyarakat tani Indonesia sekarang ini ialah, bahwa kurang lebih 60% dari pada petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian mereka itu merupakan buruh tani, sebagian lainnya mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi-hasil. Para petani yang mempunyai tanah (sawah dan/atau tanah kering) sebagian terbesar masing-masing tanahnya kurang dari 1 hektar (rata-rata 0,6 ha sawah atau 0,5 ha tanah kering) yang terang tidak cukup untuk hidup yang layak. Tetapi disamping petani-petani yang tidak bertanah dan yang bertanah tidak cukup itu, kita jumpai petani-petani yang menguasai tanah-tanah pertanian yang luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar. Tanah-tanah itu semuanya dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa. Bahkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak-gadai dan sewa inilah merupakan bagian yang terbesar. Kalau hanya melihat pada tanah-tanah yang dipunyai dengan hak milik menurut catatan di Jawa, Madura, Sulawesi Selatan, Bali, Lombok hanya terdapat 5.4000 orang yang mempunyai sawah yang luasnya lebih dari 20 hektar). Mengenai tanah kering yang mempunyai lebih dari 10 hektar adalah 11.000 orang, diantaranya 2.700 orang yang mempunyai lebih dari 20 hektar. Tetapi menurut kenyataannya jauh lebih banyak jumlah orang yang menguasai tanah lebih dari 10 hektar dengan hak gadai atau sewa. Tanah-tanah itu berasal dari tanah-tanah kepunyaan para tani yang tanahnya tidak cukup tadi, yang karena keadaan terpaksa menggadaikan atau menyewakan kepada orang-orang yang kaya tersebut. Biasanya orang-orang yang menguasai tanah-tanah yang luas itu tidak dapat mengerjakan sendiri. Tanah-tanahnya dibagi-hasilkan kepada petani-petani yang tidak bertanah atau yang tidak cukup tanahnya. Bahkan tidak jarang bahwa dalam hubungan gadai para pemilik yang menggadaikan tanahnya itu kemudian menjadi penggarap tanahnya sendiri sebagai pembagi-hasil. Dan tidak jarang pula bahwa tanah-tanah yang luas itu tidak diusahakan ("dibiarkan terlantar") oleh karena yang menguasainya tidak dapat mengerjakan sendiri, hal mana terang bertentangan dengan usaha untuk menambah produksi bahan makanan.

2.Bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedang yang sebagian terbesar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya adalah terang bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia, yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pembagian yang adil dan merata pula dari hasil tanah-tanah tersebut. Dikuasainya tanah-tanah yang luas ditangan sebagian kecil para petani itu membuka pula kemungkinan dilakukannya praktek-praktek pemerasan dalam segala bentuk (gadai, bagi-hasil dan lain-lainnya) , hal mana bertentangan pula dengan prinsip sosialisme Indonesia.

(3)Berhubung dengan itu maka disamping usaha untuk memberi tanah pertanian yang cukup luas, dengan jalan membuka tanah secara besar-besaran diluar Jawa dan menyelenggarakan transmigrasi dari daerah-daerah yang padat. Undang-undang Pokok Agraria dalam rangka pembangunan masyarakat yang sesuai dengan azas-azas sosialisme Indonesia itu, memandang perlu adanya batas-batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai suatu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan hak yang lain. Luas maksimum tersebut menurut Undang-undang Pokok Agraria harus ditetapkan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat [pasal 17 ayat (1) dan (2)]. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti-kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat petani yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah [pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria ayat (3)]. Dengan demikian maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya akan lebih merata dan adil. Selain memenuhi syarat keadilan maka tindakan tersebut akan berakibat pula bertambahnya produksi, karena para penggarap tanah-tanah itu yang telah menjadi pemiliknya, akan lebih giat didalam mengerjakan usaha pertaniannya.

(4)Selain luas maksimum Undang-undang Pokok Agraria memandang perlu pula diadakannya penetapan luas minimum, dengan tujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Berhubung dengan berbagai faktor yang belum memungkinkan dicapainya batas minimum itu sekaligus dalam waktu yang singkat, maka ditetapkan, bahwa pelaksanaannya akan dilakukan secara beransur-angsur (Undang-undang Pokok Agraria pasal 17 ayat 4), artinya akan diselengggarakan taraf demi taraf. Pada taraf permulaan maka penetapan minimum bertujuan untuk mencegah dilakukannya pemecahan tanah lebih lanjut, karena hal yang demikian itu akan menjauhkan kita dari usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani sebagai yang dimaksudkan diatas. Penetapan minimum tidak berarti bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari batas itu akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya.

(5)Kiranya tidak memerlukan penjelasan, bahwa untuk mempertinggi taraf hidup petani dan taraf hidup rakyat pada umumnya, tidaklah cukup dengan diadakannya penetapan luas maksimum dan minimum saja, yang diikuti dengan pembagian kembali tanah-tanahnya yang melebihi maksimum itu. Agar supaya dapat dicapai hasil sebagai yang diharapkan maka usaha itu perlu disertai dengan tindakan-tindakan lainnya, misalnya pembukaan tanah-tanah pertanian baru, transmigrasi, industrialisasi, usaha-usaha untuk mempertinggi produktiviteit (intensifikasi) , persediaan kredit yang cukup yang dapat diperoleh pada waktunya dengan mudah dan murah serta tindakan-tindakan lainnya.

(6)Menurut pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria luas maksimum dan minimum itu harus diatur dengan peraturan perundangan. Ini berarti bahwa diserahkanlah pada kebijaksanaan Pemerintah apakah hal itu akan diatur oleh Pemerintah sendiri dnegan Peraturan Pemerintah atau bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat dengan Undang-undang. Mengingat akan pentingnya masalah tersebut Pemerintah berpendapat bahwa soal itu sebaiknyalah diatur dengan peraturan yang bertingkat Undang-undang. Dalam pada itu karena keadaannya memaksa kini diaturnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.

(7) a.Luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat II dengan mengingat keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor sebagai : 1.tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi.

2.kepadatan penduduk.

3.jenis-jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah-kering, diperhatikan apakah ada perairan yang teratur atau tidak).

4.besarnya usaha tani yang sebai-baiknya ("the best farmsize") menurut kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa buruh tani.

5.tingkat kemajuan tehnik pertanian sekarang ini.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas yang berbeda-beda keadaannya diberbagai daerah di Negara kita ini, maka diadakanlah perbedaan antara daerah-daerah yang padat dan tidak padat. Daerah-daerah yang padat dibagi lagi dalam daerah yang sangat padat, cukup padat dan kurang padat. Pula diadakan perbedaan antara batas untuk sawah dan tanah kering. Untuk tanah kering batasnya adalah sama dengan batas untuk sawah ditambah dengan 20% didaerah-daerah yang padat dan dengan 30% didaerah-daerah yang tidak padat. Sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat (2) maka penetapan maksimum itu ialah paling banyak (yaitu untuk daerah-daerah yang tidak padat) 15 hektar sawah atau 20 hektar tanah kering. Untuk daerah-daerah yang sangat padat maka angka-angka itu adalah masing-masing 5 hektar dan 6 hektar. Jika sawah dipunyai bersama-sama dengan tanah kering maka batasnya adalah paling banyak 20 hektar, baik didaerah yang padat maupun tidak padat. b.Yang menentukan luas maksimum itu bukan saja tanah-tanah miliknya sendiri, tetapi juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain sebagainya seperti yang dimaksudkan diatas. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna-usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas (misalnya hak pakai) yang didapat dari Pemerintah tidak terkena ketentuan maksimum tersebut. Letak tanah-tanah itu tidak perlu mesti disatu tempat yang sama, tetapi dapat pula dibeberapa daerah, misalnya diduda atau tiga Daerah tingkat II yang berlainan.

c.Penetapan luas maksimum memakai dasar keluarga, biarpun yang berhak atas tanahnya mungkin seorang-seorang. Berapa jumlah luas tanah yang dikuasai oleh anggota-anggota dari suatu keluarga, itulah yang menentukan maksimum luas tanah keluarga itu. Jumlah anggota keluarga ditetapkan paling banyak 7 orang. Jika jumlahnya melebihi 7 orang maka bagi keluarga itu luas maksimum untuk setiap anggota keluarga yang selebihnya ditambah 10%, tetapi jumlah tambahan tersebut tidak boleh lebih dari 50%, sedangkan jumlah tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah dan tanah. Misalnya untuk keluarga didaerah tidak padat (dengan batas maksimum 15 hektar) yang terdiri dari 15 anggota, maka batas maksimumnya dihitung sebagai berikut. Jumlah tambahannya 8 X 10% X 15 hektar sawah, tetapi tidak boleh lebih dari 7,5 hektar - 22,5 hektar. Tetapi oleh karena tanah yang dikuasai seluruhnya tidak boleh dari 20 hektar, maka luas maksimum untuk keluarga itu ialah 20 hektar. Kalau yang dikuasai itu tanah kering maka keluarga tersebut tidak mendapat tambahan lagi, karena batas buat tanah kering untuk daerah yang tidak padat sudah ditetapkan 20 hektar.

d.Ketentuan maksimum tersebut hanya mengenai tanah pertanian. Batas untuk tanah perumahan akan ditetapkan tersendiri. Demikian pula luas maksimum untuk badan-badan hukum.

(8)Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun tanah-kering. Sebagai telah diterangkan diatas batas 2 hektar itu merupakan tujuan, yang akan diusahakan tercapainya secara taraf demi taraf. Berhubung dengan itu maka dalam taraf pertama perlu dicegah dilakukannya pemecahan-pemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Untuk itu maka diadakan pembatasan-pembatas an seperlunya didalam hal pemindahan hak yang berupa tanah pertanian (pasal 9). Tanpa pembatasan-pembatas an itu maka dikhawatirkan bahwa bukan saja usaha untuk mencapai batas minimum itu tidak akan tercapai, tetapi bahkan kita akan tambah menjauh dari tujuan tersebut.

(9) a.Dalam Peraturan ini diatur pula soal gadai tanah pertanian. Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang uang padanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi ("pemegang-gadai" ). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang-gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut. Penebusan tanah itu tergantung pada kemauan dan kemampuan yang menggadaikan. Banyak gadai yang berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan ada pula yang dilanjutkan oleh para ahli-waris penggadai dan pemegang-gadai, karena penggadai tidak mampu untuk menebus tanahnya kembali. (Dalam pada itu dibeberapa daerah dikenal pula gadai dimana hasil tanahnya tidak hanya merupakan bunga, tetapi merupakan pula angsuran. Gadai demikian itu disebut "jual angsur". Berlainan dengan gadai-bisa maka dalam jual-angsur setelah lampau beberapa waktu tanahnya kembali kepada penggadai tanpa membayar uang tebusan). Besarnya uang gadai tidak saja tergantung pada kesuburan tanahnya, tetapi terutama pada kebutuhan penggadai akan kredit. Oleh karena itu tidak jarang tanah yang subur digadaikan dengan uang-gadai yang rendah. Biasanya orang menggadaikan tanahnya hanya bila ia berada dalam keadaan yang sangat mendesak. Jika tidak mendesak kebutuhannya maka biasanya orang lebih suka menyewakan tanahnya. Berhubung dengan hal-hal diatas itu maka kebanyakan gadai itu diadakan dengan imbangan yang sangat merugikan penggadai dan sangat menguntungkan pihak pelepas uang. Dengan demikian maka teranglah bahwa gadai itu menunjukkan praktek-praktek pemerasan, hal mana bertentangan dengan azas sosialisme Indonesia. Oleh karena itu maka didalam Undang-undang Pokok Agraria hak gadai dimasukkan dalam golongan hak-hak yang sifatnya "sementara", yang harus diusahakan supaya pada waktunya dihapuskan. Sementara belum dapat dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru dapat dihapuskan maka hak gadai harus diatur agar dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan (pasal 53). Hak gadai itu baru dapat dihapuskan (artinya dilarang jika sudah dapat disediakan kredit yang mencukupi keperluan para petani.

b.Apa yang diharuskan oleh pasal 53 Undang-undang Pokok Agraria itu diatur sekaligus dalam Peraturan ini (pasal 7), karena ada hubungannya langsung dengan pelaksanaan ketentuan mengenai penetapan maksimum tersebut diatas. Tanah-tanah yang selebihnya dari maksimum diambil oleh Pemerintah, yaitu jika tanah itu milik orang yang bersangkutan. Kalau tanah yang selebihnya itu tanah-gadai maka harus dikembalikan kepada yang empunya. Didalam pengembalian tanah-tanah gadai tersebut tentu akan timbul persoalan tentang pembayaran kembali uang-gadainya. Peraturan ini memecahkan persoalan tersebut, dengan berpedoman pada kenyataan sebagai yang telah diuraikan diatas. Yaitu, bahwa dalam prakteknya hasil tanah yang diterima oleh pemegang gadai adalah jauh melebihi bunga yang layak dari pada uang yang dipinjamkan. Menurut perhitungan maka uang gadai rata-rata sudah diterima kembali oleh pemegang gadai dari hasil tanahnya dalam waktu 5 sampai 10 tahun, dengan ditambah bunga yang layak (10%). Berhubung dengan itu maka ditetapkan bahwa tanah-tanah yang sudah digadai selama 7 tahun (angka tengah-tengah diantara 5 dan 10 tahun) atau lebih harus dikembalikan kepada yang empunya, tanpa kewajiban untuk membayar uang tebusan. Mengenai gadai yang berlangsung belum sampai 7 tahun, pula mengenai gadai-gadai baru diadakan ketentuan dalam pasal 7 ayat, 2 dan 3, sesuai dengan azas-azas tersebut diatas.

(10)Kemudian agar ketentuan-ketentuan Peraturan ini dapat berjalan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, maka dalam pasal 10 dan 11 diadakan sanksi-sanksi pidana seperlunya.

(11)Soal pemberian ganti-kerugian kepada mereka yang tanahnya diambil oleh Pemerintah, soal pembagian kembali tanah-tanah tersebut dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan penyelesaian tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum menurut pasal 5 akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan pasal 17 ayat 3 Undang-undang Pokok Agraria.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1.

Ayat 1 :Perkataan "orang" menunjuk pada mereka yang belum/tidak berkeluarga. Sedang "orang-orang" menunjuk pada mereka yang bersama-sama merupakan satu keluarga. Siapa-siapa yang menjadi anggota suatu keluarga harus dilihat pada kenyataan dalam penghidupannya. Yang termasuk anggota suatu keluarga ialah yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu. Sebagaimana telah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (7b) maka tanah-tanah yang dimaksudkan itu bisa dikuasai sendiri oleh anggota keluarga masing-masing, tetapi dapat pula dikuasai bersama(misalnya milik bersama sebagai warisan yang belum/tidak dibagi). Tanah-tanah yang dikuasai itu bisa miliknya sendiri bisa kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan sewa, pakai atau gadai dan bisa miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain. Orang yang mempunyai tanah dengan hak milik atau hak gadai, tanah mana olehnya disewakan atau dibagi-hasilkan kepada orang atau orang-orang lain, termasuk dalam pengertian orang yang ..menguasai" tanah tersebut menurut pasal ini. Jadi pengertian "menguasai" itu harus diartikan baik menguasai secara langsung, maupun tidak langsung.

Ayat 2 :Pokok-pokoknya sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (7a). Jika yang dikuasai itu sawah dan tanah kering maka cara menghitung maksimumnya ialah sebagai berikut : Misalnya didaerah yang kurang padat oleh suatu keluarga dikuasai 5 ha sawah dan 9 ha tanah kering. Maka 5 ha sawah dihitung menjadi tanah kering yaitu 120% X 5 ha = 6ha. Jadi tanah yang dikuasai jumlah sama dengan 6 + 9 ha = 15 ha tanah kering. Karena untuk daerah yang kurang padat maksimumnya 12 ha tanah kering, maka keluarga itu harus melepaskan 15 ha - 12 ha = 3 ha tanah keringnya. Dengan demikian maka maksimumnya ialah 5 ha sawah dan 6 ha tanah kering atau 11 ha. Jika sawah yang akan dilepaskan maka 9 ha tanah kering itu dihitung menjadi sawah, yaitu sama dengan sawah 5/6 X 9 ha = 7,5. Dengan demikian maka jumlah tanahnya adalah 5 ha + 7,5 ha = 12,5 ha sawah. Karena untuk daerah tersebut maksimumnya 10 ha,maka sawah yang harus dilepaskan adalah 12,5 ha 10 ha = 2,5 ha. Bagi keluarga itu maksimumnya menjadi 2,5 ha sawah dan 9 ha tanah kering atau 11,5 ha. Perlu mendapat perhatian bahwa bagaimanapun juga jumlah luas tanah sawah dan tanah kering itu tidak boleh lebih dari 20 ha, baik didaerah yang padat maupun tidak padat.

Pasal 2.

Jumlah 7 orang adalah rata-rata keluarga Indonesia sekarang ini. Lebih lanjut sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (7c).

Pasal 3.

Perkataan "orang-orang" menunjuk kepada orang-orang yang tidak merupakan anggota sesuatu keluarga. Bagi keluarga-keluarga maka kewajiban lapor dibebankan kepada kepala keluarganya, biarpun tanah-tanah yang dilaporkan itu adalah kepunyaan anggota-anggota keluarganya. Kepala-keluarga biasa laki-laki ataupun wanita. Sudah barang tentu ketentuan dalam pasal ini tidak mengurangi kewajiban penjabat-penjabat yang bersangkutan untuk secara aktip mengumpulkan keterangan-keterang an yang dimaksudkan itu. Pasal 4.

Ketentuan ini bermaksud untuk mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat penetapan luas maksimum. Bagian tanah yang selebihnya dari maksimum menurut pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria akan diambil oleh Pemerintah, yang kemudian akan mengatur pembagiannya kepada para petani yang membutuhkan. Berhubung dengan itu maka bagian tersebut tidak boleh dialihkan oleh pemilik kepada fihak lain. Adapun bagian tanah yang boleh terus dimiliknya (yaitu sampai luas maksimum) sudah barang tentu boleh dialihkannya kepada orang lain, asal peralihan itu tidak mengakibatkan hal-hal yang diebut dalam pasal 9. Dalam pada itu oleh karena penetapan bagian mana yang boleh terus dimilikinya itu memerlukan waktu, hingga pada waktu itu mungkin belum ada kepastian apakah yang hanya akan dialihkan itu termasuk bagian tersebut atau tidak, maka peralihan itu memerlukan idzin Kepala Agraria Daerah yang bersangkutan. Kalau yang dimiliki itu misalnya 15 ha sawah didaerah yang kurang padat (yang maksimumnya 10 ha) maka yang boleh dialihkan oleh pemiliknya ialah paling banyak 10 ha, karena yang 5 ha selebihnya akan diambil oleh Pemerintah. Perlu kiranya diperhatikan, bahwa yang terkena oleh ketentuan pasal ini ialah pemindahan hak atas tanah milik yang melampaui maksimum. Jika yang dikuasai itu tanah milik dan tanah gadai, misalnya masing-masing 7 ha dan 5 ha, maka untuk mengalihkan 7 ha tanah milik tersebut tidak diperlukan idzin.

Pasal 5.

Lihat Penjelasan Umum angka (11). Kiranya sudahlah selayaknya jika diperhatikan keinginan fihak-fihak yang bersangkutan (yaitu mereka yang tanahnya diambil oleh Pemerintah itu) mengenai penentuan bagian tanah yang mana akan diambil oleh Pemerintah dan yang mana boleh dikuasainya terus. Dalam pada itu Pemerintah tidak terikat pada keinginan yang diajukan itu. Misalnya tidaklah akan diperhatikan keinginan yang bermaksud supaya yang diambil oleh Pemerintah hanya bagian-bagian tanah yang tidak dapat ditanami.

Pasal 6.

Memperoleh tanah menurut pasal ini bisa karena pembelian ataupun pewarisan hibah, perkawinan dan lain sebagainya. Misalnya didaerah yang tidak padat seorang menguasai sawah dengan hak milik seluas 10 ha dan hak gadai 5 ha. Kemudian ia membeli sawah 5 ha. Didalam waktu 1 tahun ia diwajibkan untuk melepaskan 5 ha, misalnya semua tanah yang dikuasainya dengan hak gadainya itu atau sebagian tanah gadai dan sebagian tanah miliknya.

Pasal 7.

Azasnya sudah dijelaskan didalam Penjelasan Umum angka (9b). Mengenai ketentuan ayat 2 dapat dikemukakan contoh sebagai berikut. Uang gadai 14.000,- dan gadai sudah berlangsung 3 tahun. Maka uang tebusannya ialah

7« - 3 X Rp. 14.000,- = Rp. 9.000,- 7

Hasil yang diterima pemegang gadai selama 3 tahun dianggap sebagai 3 kali angsuran @ Rp. 20.000,- ditambah bunganya.

Faktor « adalah dimaksud sebagai ganti kerugian, 7

bila gadainya tidak berlangsung sampai 7 tahun. Dalam pada itu tidak ada keharusan bagi penggadai untuk menebus tanahnya kembali. Ketentuan-ketentuan pasal ini tidak hanya mengenai tanah-tanah gadai yang harus dikembalikan, tetapi mengatur gadai pada umumnya.

Pasal 8.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (4) dan (8). Usaha-usaha yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan, supaya setiap keluarga petani mempunyai tanah 2 ha itu ialah terutama extensifikasi tanah pertanian dengan pembukaan tanah secara besar-besaran diluar Jawa, transmigrasi dan industrialisasi. Tanah 2 ha itu bisa berupa sawah atau tanah kering atau sawah dan tanah kering.

Pasal 9.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (8). Tanah yang luasnya 2 ha atau kurang tidak boleh dialihkan untuk sebagian, karena dengan demikian akan timbul bagian atau bagian-bagian yangkurang dari 2 ha. Kalau akan dialihkan maka haruslah semuanya. Tanah itu dapat dialihkan semuanya kepada satu orang. Kalau dialihkan semuanya kepada lebih dari seorang maka mereka yang menerima itu masing-masing harus sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 ha atau dengan peralihan tersebut masing-masing harus memiliki paling sedikit 2 ha. Mengenai tanah-tanah yang lebih dari 2 ha larangan itupun berlaku pula, jika karena peralihan itu timbul atau bagian-bagian yang luasnya kurang dari 2 ha. Peralihan untuk sebagian diperbolehkan, jika yang menerima itu sudah memiliki tanah pertanian paling sedikit 2 ha atau jika dengan peralihan tersebut lalu memiliki tanah paling sedikit 2 ha dan jika sisanya yang tidak dialihkan luasnyapun masih paling sedikit 2 ha. Misalnya tanah 3 ha boleh dijual 1 ha kepada seorang yang memiliki 1 ha pula. Sisa yang tidak dijual masih 2 ha. Larangan tersebut tidak berlaku mengenai pembagian warisan yang berupa tanah pertanian.

Pasal 10 dan 11.

Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka (10). Apa yang ditentukan dalam pasal 10 ayat 3 dan 4 tidak memerlukan keputusan pengadilan. Tetapi berlaku karena hukum setelah ada keputusan hakim yang mempunyai kekuatan untuk dijalankan, yang menyatakan, bahwa benar terjadi tindak-pidana yang dimaksudkan dalam ayat 1.

Pasal 12.

Oleh karena pembatasan mengenai tanah-tanah untuk perumahan tidak sepenting tanah-tanah- pertanian dan tidak menyangkut banyak orang sebagaimana halnya dengan tanah-tanah pertanian, maka soal tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, demikian juga halnya dengan pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini. Yang demikian itu tidak pula bertentangan dengan pasal 17 Undang-undang Pokok Agraria.

Pasal 13.

Tidak memerlukan penjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 174 tahun 1960.