CATATAN HUKUM MARIA SW SUMARDJONO
PERATURAN Pemerintah (PP) No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal
atau Hunian oleh Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia masih
memerlukan kejelasan dalam rangka penyusunan peraturan pelaksanaannya.
Selain itu, dalam PP tersebut terdapat kerancuan pemahaman dan
inkonsistensi yang perlu diluruskan.
Pasal 2 angka 1 huruf b menyebutkan bahwa : WNA dapat memiliki rumah
yang berdiri sendiri di atas bidang tanah Hak Pakai atas Tanah Negara
(HPTN) atau di atas bidang tanah yang dikuasai berdasarkan perjanjian
dengan pemegang hak atas tanah. Perjanjian tersebut harus dalam bentuk
tertulis dengan akta PPAT dan wajib didaftarkan (pasal 3 dan 4).
Penjelasan pasal 2 angka 1 huruf b yang mendasarkan pada pasal 6 UU
No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman menyatakan bahwa
penguasaan tanah yang digunakan untuk bangunan dimungkinkan dan karena
sifatnya berpangkal pada persetujuan dengan pemegang hak atas tanah,
maka perjanjiannya dapat dibuat di atas tanah Hak Milik (HM) dan Hak
Guna Bangunan (HGB).
Hak Sewa atas Bangunan
PP No. 41 tahun 1996 berbicara tentang pemilikan rumah tinggal/hunian
(bangunan) oleh WNA dengan cara penguasaan (hak atas) tanahnya, baik
atas Tanah Negara atau melalui perjanjian dengan pemegang hak atas
tanah, dan apabila melalui perjanjian harus dalam bentuk akta PPAT
(karena obyek perjanjian adalah pemberian hak baru atas tanah) dan
wajib didaftarkan.
Sebelum PP No. 41/1996 terbit, alternatif bagi WNA yang memerlukan
rumah/hunian adalah dengan mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah/
bangunan yang sudah ada di atas sebidang tanah untuk dihuni tanpa
penguasaan hak atas tanahnya. Penguasaan tanah oleh penyewa bangunan
hanyalah dalam hubungan dengan perjanjian sewa menyewa bangunan
tersebut. Perjanjian sewa menyewa yang obyeknya bangunan tersebut,
yang lazim juga disebut hak atas bangunan, tidak memerlukan akta PPAT
dan berada di luar pengaturan PP No. 41/1996 (lihat PP No. 44/1994).
Karena obyek perjanjiannya adalah bangunan, maka hak sewa atas
bangunan dapat dibuat terhadap bangunan yang berdiri di atas tanah HM,
HGB, HP, dan HSUB.
WNA yang berkedudukan di Indonesia dapat menguasai tanah dengan HP
atau HSUB dan memiliki bangunan yang didirikan di atasnya. Menurut
pasal 44 UUPA, seorang atau suatu badan hukum mempunyai hak sewa atas
tanah, apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk
keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang
sebagai sewa. Dalam pengertian HSUB, pemilik tanah menyerahkan tanah
yang disewa oleh seorang/suatu badan hukum itu dalam keadaan kosong
untuk kemudian si penyewa mendirikan bangunan yang secara yuridis juga
dimiliknya.
HP yang dapat dikuasai oleh WNA dapat terjadi di atas tanah Negara,
tanah Hak Pengelolaan (HPL), dan tanah HM, tetapi HSUB yang mirip HP
dengan kekhususan tertentu hanya dapat terjadi di atas tanah HM.
Sesuai dengan konsepsi hukum tanah nasional, hanya HM yang dapat
menjadi induk hak atas tanah yang lain, karena dibandingkan dengan hak
atas tanah yang lain, HM bersifat turun temurun yang juga merupakan
hak terkuat dan terpenuh, sehingga mempunyai kualifikasi dapat menjadi
dasar/induk untuk pemberian hak atas tanah lain, yakni HGB, HP, dan
HSUB.
Terjadinya HP atas tanah HM sudah diatur dalam PP No. 40/1996 tentang
HGU, HGB, dan HP atas Tanah, sedangkan mengenai terjadinya HSUB atas
tanah HM belum diatur. Apabila di masa yang akan datang hal ini akan
diatur, maka analog dengan HP atas tanah HM, maka perjanjian pemberian
HSUB atas tanah HM harus dibuat akta PPAT dan wajib didaftar.
Konsisten dan sinkron
Pasal 2 angka 1 huruf b mengatur tentang pemilikan rumah tinggal
melalui penguasaan tanah (pemberian hak baru atas tanah) berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanahnya yang dapat dilakukan di
atas tanah HM.
Penguasaan HPTN oleh WNA berakhir apabila yang bersangkutan tidak
memenuhi syarat lagi sebagai pemegang HPTN dan tidak
melepaskan/mengalih kan hak atas rumah dan tanahnya kepada pihak lain
yang memenuhi syarat. Seyogianya ditegaskan bahwa rumah dan tanahnya
tersebut dikuasai oleh Negara, dan Negara tidak perlu melelang rumah
dan tanah tersebut dan menyerahkan hasil penjualannya kepada WNA
setelah dikurangi biaya lelang dan ongkos lain seperti yang disebutkan
dalam pasal 6 ayat 2 huruf a. Hal ini tidak sinkron dengan pasal 57 PP
No. 40/1996 yang menyebutkan, bahwa dalam situasi yang sama bekas
pemegang HPTN wajib menyerahkan tanah dalam keadaan kosong kepada
Negara dengan cara membongkar sendiri bangunan dan benda yang ada di
atasnya atau dibongkar oleh negara atas biaya bekas pemegang hak.
Kecuali, apabila bangunan dan benda tersebut masih diperlukan, Negara
akan memberikan ganti kerugian.
Ketentuan apa pun yang dibuat, seyogianya memperhatikan konsepsi yang
mendasari dan sinkron dengan peraturan lain yang terkait, baik secara
horisontal maupun vertikal.
(Maria SW Sumardjono, Kepala Pusat Pengkajian Hukum Tanah FH UGM)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar