Rabu, 27 Mei 2009

Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga

Analisa Resi Gudang Sebagai Surat Berharga*)

Resi gudang sebetulnya memiliki banyak ciri surat berharga yang notabene telah cukup diatur dalam KUHPerdata. Sehingga, UU Resi Gudang sebenarnya tidak diperlukan.

Sebelum membahas lebih jauh, penulis akan menguraikan terlebih dahulu substansi dari Undang-undang No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang (selanjutnya UU Resi Gudang). Sistem resi gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian resi gudang (Pasal 1 angka. 1 UU Resi Gudang). Resi gudang sendiri adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang (Pasal 1 angka 2 UU Resi Gudang).

Tampaknya UU Resi Gudang hanya bermaksud untuk mengatur tentang benda bergerak yang disimpan dalam gudang saja. Hal ini dapat disimpulkan dengan membaca definisi barang menurut UU ini, yaitu setiap benda bergerak yang dapat disimpan dalam jangka waktu tertentu dan diperdagangkan secara umum (Pasal 1 angka 5 UU Resi Gudang).

UU Resi Gudang bermaksud untuk membuat lembaga hukum jaminan baru selain yang sudah dikenal dalam hukum jaminan di Indonesia, antara lain hipotik, gadai, fidusia, dan hak tanggungan. Hal ini terlihat dari pencantuman istilah hak jaminan atas resi gudang di dalam UU ini. Hak jaminan yang dibebankan pada resi gudang untuk pelunasan utang yang memberikan kedudukan yang diutamakan bagi pemegangnya terhadap kreditur lain (Pasal 1 angka 9 UU Resi Gudang).

Berdasarkan penjelasan UU Resi Gudang, ditemukan juga informasi bahwa resi gudang adalah alas hak (document of title) atas barang dapat digunakan sebagai agunan karena resi gudang tersebut dijamin dengan komoditas tertentu dalam pengawasan pengelola gudang yang terakreditasi. Sistem resi gudang merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemasaran yang telah dikembangkan di berbagai negara.

Sistem ini terbukti telah mampu meningkatkan efisiensi sektor agroindustri karena baik produsen maupun sektor komersial dapat mengubah status sediaan bahan mentah dan setengah jadi menjadi suatu produk yang dapat diperjualbelikan secara luas. Hal ini dimungkinkan karena resi gudang juga merupakan instrumen keuangan yang dapat diperjualbelikan, dipertukarkan, dan dalam perdagangan derivatif dapat diterima sebagai alat penyelesaian transaksi kontrak berjangka yang jatuh tempo di bursa berjangka.

Dalam mengawasi, menilai serta mendaftarkan resi gudang, pemerintah membentuk Badan Pengawas Sistem Resi Gudang, Lembaga Penilaian Kesesuaian, serta Pusat Registrasi Resi Gudang (Pasal 1 angka 11, 12, dan 13 UU Resi Gudang).

Maksud pembentukan UU Resi Gudang adalah menciptakan sistem pembiayaan perdagangan yang diperlukan oleh dunia usaha, terutama usaha kecil dan menengah termasuk petani. Pada umumnya mereka menghadapi masalah pembiayaan karena keterbatasan akses ke perbankan dan tidak adanya jaminan kredit benda tak bergerak seperti tanah dan bangunan. Selain itu juga adanya birokrasi dan administrasi yang berbelit-belit, kurangnya pengalaman bank dalam melayani wilayah perdesaan, tingginya biaya pinjaman dari sektor informal, tingginya tingkat risiko yang berhubungan dengan pengusaha atau produsen kecil, dan ketergantungan sektor formal terhadap pemerintah (Arief R. Permana dan Yulita Kuntari, Selayang Pandang Undang-undang Sistem Resi Gudang, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Vol. 4 No. 2, Agustus 2006, mengutip Buku Informasi Sistem Resi Gudang sebagai Alternatif Pendanaan, hal. 7-8).

Kelebihan adanya UU Resi Gudang adalah transaksi yang berkaitan dengan barang yang ada dalam gudang tidak perlu dilakukan pengalihan secara fisik, melainkan dengan pengalihan resi gudang.

Resi gudang sebagai surat berharga

Resi gudang adalah tanda terima yang diterbitkan oleh pemilik gudang yang diberikan sebagai tanda bukti kepemilikan barang yang dititipkan/diletakk an di dalam gudang kepada penitip/pemilik barang tersebut. Berdasarkan berbagai ciri-ciri yang melingkupi resi gudang, maka resi gudang dapat dikategorikan sebagai surat berharga. Pembagian resi gudang atas nama dan resi gudang atas perintah (Pasal 3 ayat (1) UU Resi Gudang) juga memperkuat pemikiran bahwa resi gudang adalah sejenis surat berharga. Definisi keduanya dapat dilihat pada Pasal 3 ayat (2) jo. ayat (3) UU Resi Gudang. Sebagai surat berharga, maka resi gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau dokumen penyerahan barang (Pasal 4 ayat (1) UU Resi Gudang).

Pasal 8 ayat (1) UU Resi Gudang mengatakan pengalihan resi gudang atas nama dilakukan dengan akta otentik. Sedangkan Pasal 8 ayat (2) menyatakan resi gudang atas perintah dilakukan dengan endosemen yang disertai penyerahan resi gudang. Resi gudang juga dapat diperdagangkan di bursa dan dijelaskan sifat hak jaminan resi gudang sebagai perjanjian berkarakter accesoir (Pasal 12 ayat 1 UU Resi Gudang).

Untuk melihat apakah yang dimaksud dengan surat yang berharga, maka penulis berpijak pada pendapat H.M.N. Purwosutjipto (Pengertian Hukum Dagang: Buku 7, Hukum Surat Berharga: Djambatan, hal 6-8). Surat yang berharga adalah: (i) surat bukti tuntutan utang, (ii) pembawa hak, dan (iii) sukar diperjual belikan.

Surat bukti tuntutan utang merupakan bukti adanya perikatan yang harus ditunaikan oleh si penerbit surat tersebut. Sebaliknya si pemegang surat tersebut mempunyai hak menuntut kepada penerbit surat tersebut. Tuntutan tersebut antara lain berwujud uang, dan benda.

Pembawa hak berarti pemegang surat yang berharga berhak untuk menuntut sesuatu kepada penerbit berdasarkan surat berharga. Sedangkan sukar diperjualbelikan, karena surat ini disengaja berwujud sukar diperjualbelikan. Bentuk tersebut adalah atas nama (op naam), sehingga untuk mengalihkannya dengan cara cessie.

Sebagai surat berharga, penulis melihat resi gudang dapat dikategorikan sebagai surat kebendaan (zakenrechtelijke papieren), yaitu surat yang berisikan perikatan untuk menyerahkan barang-barang, misalnya konosemen, dan sebagainya. Bentuk surat berharga yang tepat untuk resi gudang adalah ceel, yaitu surat berharga sebagai tanda bukti penerimaan barang-barang untuk disimpan dalam veem, ditandatangani oleh pengusaha veem.

Ceel memberi hak kepada pemegangnya untuk menuntut penyerahan barang-barang sebagaimana disebut dalam ceel kepada pengusaha ceel. Sebutan lain untuk ceel adalah bukti penimbunan. Salah satu cara penyerahan ceel, adalah ditandatanganinya volgbriefje kepada pengusaha veem agar menyerahkan barang yang disebut dalam volgbriefje kepada pemegangnya.

Dapat memanfaatkan aturan KUHPerdata

Dengan melihat penjabaran di atas, maka sebenarnya resi gudang bukanlah mekanisme hukum asing yang tidak dikenal di Indonesia, bahkan sebaliknya. Oleh karena itulah penulis tidak dapat mengerti alasan pemerintah melegislasi undang-undang ini. Jelas sekali, resi gudang sebagai surat berharga memang dapat dijadikan sebagai jaminan utang bagi pemiliknya. Bahkan cara peralihannya pun sudah diatur sejak lama oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) . Sebagai surat berharga, maka cukup dengan menggunakan mekanisme yang disediakan oleh KUHPerdata pun sebenarnya resi gudang memang dapat dijadikan sebagai jaminan utang, serta dapat dialihkan.

Resi gudang adalah surat berharga yang mempunyai ciri-ciri sebagai sebuah surat kebendaan (zakenrechtelijke papieren). Resi gudang dapat disebut juga surat pengakuan utang dari pemilik gudang kepada pemilik barang yang menaruh barangnya di dalam gudang tersebut. Resi gudang dapat dimasukkan dalam kelompok tagihan atas order dan tagihan atas nama (sebagaimana dibagi oleh J. Satrio dalam Cessie, Subrogasi, Novatie, Kompensasi, dan Pencampuran Hutang: Alumni, hal. 1).

Sebagai surat yang berharga yang berciri surat kebendaan, tentu saja resi gudang dapat dialihkan dan tunduk pada Pasal 613 KUHPerdata. Ketentuan itu mengatur penyerahan piutang atas nama dan barang lain yang tak bertubuh dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan dan penyerahan tersebut diberitahukan kepada orang yang berutang. Bandingkan dengan penyerahan surat atas unjuk yang dilakukan dengan penyerahan surat utang atas perintah bersama dengan endosemen surat tersebut.

Syarat penting pasal ini ada pada kata diberitahukan, di mana bahasa aslinya (Belanda) adalah betekening, artinya pemberitahuan resmi melalui eksploit juru sita pengadilan. Namun menurut J. Satrio, syarat ini tidak diperlukan apabila cessus (orang yang membuat surat pengakuan hutang/debitur) sudah mengakui adanya cessie kepada cedder (kreditur lama) dan bersedia membayar utang tersebut kepada cessionaries (kreditur baru).

Sebagai surat yang berharga, maka resi gudang adalah benda bergerak, dan benda yang dapat dimasukkan ke dalam gudang pun adalah benda bergerak saja. Penulis tidak mengetahui apakah benda bergerak yang dapat dianggap sebagai benda tidak bergerak. Misalnya mesin dalam suatu pabrik, yang walaupun sifatnya adalah benda bergerak, tapi karena mesin tersebut menempel pada pabrik dan sukar dipindahkan, maka akan dianggap sebagai benda tidak bergerak. boleh atau tidak dimasukkan dalam gudang berdasarkan UU Resi Gudang.

KUHPerdata pun sudah mengatur mekanisme yang dapat diambil untuk menjaminkan benda bergerak, yaitu gadai. Untuk sanksi pidana-pun, menurut penulis, Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita masih cukup mumpuni untuk menanganinya, misalnya manakala ada oknum yang memalsukan resi gudang.

Dengan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata kita sebenarnya masih dapat mengakomodasi resi gudang, kalau saja pemerintah mau atau mampu menggunakan secara maksimal ketentuan di dalamnya. Menurut penulis pribadi, UU Resi Gudang menjadi sebuah peraturan perundang-undangan yang sia-sia, kalau tidak mau dikatakan tidak berguna.

Untuk membantu pengawasan dan pendaftaran resi gudang, UU Resi Gudang telah membentuk badan-badan tersendiri. Hal ini justru memperumit sesuatu yang sebenarnya dapat dipermudah, menambah prosedur yang tidak perlu. Padahal sudah menjadi rahasia umum, yang menghambat pertumbuhan ekonomi negara kita adalah adanya birokrasi yang berbelit-belit. Melalui UU ini, justru pemerintah kita telah menambah panjangnya daftar birokrasi negara ini. Mungkin hal ini memang ciri khas Indonesia sebagaimana dikatakan iklan layanan masyarakat baru-baru ini, "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah."

UU Resi Gudang merupakan sebuah produk perundang-undangan yang sangat mahal. Mulai dari perancangannya, yang dapat dipastikan anggota DPR yang terlibat akan memperoleh banyak tunjangan, pembentukan badan-badan pengawas hingga pelaksanaan sehari-hari yang tentu saja membutuhkan biaya besar. Yang terpenting, pelaku usaha yang terlibat dalam transaksi harus mengikuti semua prosedur, padahal KUHPerdata menawarkan mekanisme yang lebih sederhana. Berdasarkan analisa ekonomi, hukum baru harus dapat menjadikan segala sesuatunya lebih efisien, dan UU Resi Gudang, tidak menawarkan hal tersebut.

Kemudian, yang lebih penting lagi, Indonesia adalah negara penganut civil law, yang mengagung-agungkan kepastian hukum secara dogmatis. Seharusnya dalam membuat peraturan perundang-undangan, legislatif harus mempertimbangkan keteraturan, dalam bentuk kesinkronan dengan peraturan perundang-undangan yang terdahulu, yang memiliki hierarki lebih tinggi maupun yang sejajar serta ketaatan pada grand theory sebuah hukum. Ketaatan inilah yang akan membantu pemerintah membuat legislasi, yang walaupun berbeda objek, namun memiliki nafas filosofi yang serupa. Sehingga menghindarkan adanya bentrokan antar perundang-undangan.

Kesimpulan akhir yang dapat penulis berikan adalah, UU Resi Gudang bukanlah produk peraturan perundang-undangan terbaik yang pernah dibuat oleh legislatif. Walau tak dapat dikatakan yang paling buruk, namun seharusnya para ahli hukum yang duduk di legislatif dapat merancang peraturan-perundang undangan yang lebih baik lagi.

*) Penulis adalah associate pada Law Firm Yohanes Suhardi & Partners

sumber dari www.hukumonline. com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar